Ladong, Aceh Besar_Harian-RI.com
LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) turut mengkritisi program pengembangan Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, Aceh Besar yang kini belum ada tanda-tanda denyutnya.
Terbaru, ditemukan fakta bahwa sejak awal pengembangannya tahun 2009 hingga 2022 (14 tahun), belum ada unit usaha yang berdiri di sana, sedangkan anggaran yang sudah dihabiskan mencapai Rp 154 miliar.
Fakta ini diungkap oleh Tim Panitia Khusus (Pansus) DPRA terkait Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Aceh Tahun Anggaran 2021 yang disampaikan dalam rapat paripurna di Gedung DPRA, Jumat (3 Juni 2022) lalu.
Koordinator MaTA, Alfian, meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh untuk melakukan audit investigasi terhadap kebijakan anggaran pada KIA Ladong yang sudah mencapai Rp 154 miliar.
Menurut Alfian,"Seharusnya, Pansus LKPJ merekomendasikan audit menyeluruh, mulai pembebasan lahan sampai pembangunan di lahan tersebut," ucap Alfian, Sabtu (4/6/2022).
KIA Ladong, menurut Alfian, merupakan kebijakan oknum birokrasi untuk mencari keuntungan semata tapi tidak bermafaat kepada rakyat.
"Kalau dalam perencanaan istilah kami, kebijakan keinginan bukan kebutuhan.
Proses pembebasan lahan potensi terjadi korupsi dan begitu juga pembagunannya yang saat ini menjadi disfungsional," ungkap dia.
Sementara Aceh saat ini rugi besar akibat kebijakan tersebut.
Sebesar Rp 154 miliar uang sudah habis untuk program itu, tapi Aceh belum mendapatkan keuntungan apa-apa.
"Model kebijakan anggaran semacam ini seperti uang warisan keluarga, bisa seenaknya sajaLSM MaTA Minta BPKP Aceh Audit Investigasi Terkait KIA Ladong Yang Menyedot Anggaran Rp 154 M.
MaTA berharap pemerintah menyetop anggaran untuk KIA Ladong sebelum ada audit invetigasi terhadap yang mrreka habiskan anggaran," pinta Alfian.
Menurutnya, BPKP merupakan lembaga yang tepat untuk melakukan audit investigasi.
"Kalau ada temuan yang potensi pada pidana korupsi maka wajib ditindak pelakunya.
Sehingga ke depan perencanaan tidak lagi berbasis keinginan para pihak, tapi benar-benar kebutuhan rakyat atau daerah," Tutup Alfian.
Audit forensik
LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh juga buka suara terkait hal yang sama.
Koordinator GeRAK, Askhalani SH, kepada Serambi, kemarin, mengatakan, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh perlu melakukan audit khusus atau audit foreksik atas kasus itu.
"Kita dorong untuk audit khusus atau audit forensik oleh BPK RI untuk menilai apakah ada pelanggaran hukum yang berpotensi korupsi yang dilakukan selama proses penganggaran," katanya.
Audit forensik merupakan pemeriksaan dan evaluasi catatan keuangan perusahaan atau personal guna mendapatkan bukti pada saat di pengadilan atau saat proses hukum berlangsung.
"Kita curiga dengan jumlah uang besar tapi hasil tidak ada.
Dan ini menunjukkan adanya bacakan yang dipelihara secara terun temurun untuk kepentingan politik anggaran dan ini menunjukkan bahwa dari sejak awal ada gejala yang aneh," ungkap dia.
Askhalani menegaskan, GeRAK Aceh mendukung langkah DPRA untuk melakukan audit khusus dengan menggandeng BPK RI.
Jika dari hasil audit BPK ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka harus berani didorong penyelidikan oleh aparat penegak hukum.
"GeRAK mencurigai bahwa dari sejak awal proyek di lokasi Ladong ini adalah cara pemerintah, khususnya SKPA terkait menghabiskan uang untuk kepentingan tertentu, sebab tidak memiliki masterplan yang baik," terang Askhalani.
"Karenanya harus ada evaluasi secara khusus, termasuk adanya sanksi tegas yaitu dengan reformasi untuk mencopot jabatan serta mengevaluasi keberadaan tim ahli bidang investasi dan bisnis Pemerintah Aceh yang selama ini hanya bekerja untuk mendapatkan uang atau menjadi broker investigasi bodong," tutup Askhalani.
Pasti ada konsekuensi
Juru Bicara (Jubir) Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, kemarin, mengungkapkan bahwa untuk membangun sebuah industri besar sudah pasti ada konsekwensi anggaran yang besar pula.
“Kita membangun prasarana dan sarana kawasan di mana kawasan ini nantinya menjadi daerah investasi bagi pelaku bisnis," ujarnya.
Pengembangan KIA Ladong yang dicetus sejak 2009 lalu, menurut MTA, memang banyak terjadi dinamika, terutama dinamika anggaran yang berpengaruh terhadap penyempurnaan prasarana dan sarana kawasan industri tersebut.
"Untuk itu, ke depan kita harapkan dewan sendiri mempunyai perspektif yang sama terhadap pengembangan kawasan industri, karena kawasan ini akan menjadi salah satu pusat kegiatan industri bagi pelaku bisnis dan industri yang berpotensi besar dalam membuka lapangan kerja," terang MTA.
Secara khusus, lanjut MTA, Pemerintah Pusat juga memberi dukungan besar terhadap kawasan industri ini bila mulai beroperasi dengan mensupport sekolah-sekolah vokasi dan sejenisnya sebagai upaya dalam pemenuhan tenaga kerja bagi pelaku bisnis dan industri kawasan tersebut.
"Jika dewan menemukan air tebu dan kelapa di KIA Ladong walau belum ada aktivitas apa-apa, coba bayangkan kalau aktivitas bisnis dan industri mulai bergeliat disana? Makanya butuh perspektif yang sama dalam pengembangan kawasan industri, karena kita bukan membangun kawasan pasar malam, tapi kawasan industri," ungkap MTA.
Karenanya, Jubir Pemerintah Aceh ini menegaskan bahwa ke depan penting adanya kesepahaman bersama antara eksekutif dan legeslatif supaya KIA Ladong menjadi kawasan yang siap pakai oleh pelaku bisnis dan industri sebagai prasyarat sebuah kawasan industri.
“Jadi tidak kita disibukkan dengan dawa-dawi.
Calon-calon pembisnis dan industri yang melirik kawasan tersebut tentu akan melihat sarpras pendukung.
Jika tidak terpenuhi, ya sudah pasti mereka akan pasif sampai kawasan itu layak digunakan," jelasnya.
"Terakhir, kasus dengan perusahaan putra daerah Ismail Rasyid misalnya, masalahnya kan seputar itu.
Untuk itu, kita harus bersatu dan mempunyai komitmen bersama dalam mewujdukan cita-cita kemajuan kawasan tersebut," tambahnya.
"Apalagi nanti jika tol Aceh-Sumut selesai, ini akan menjadi pendukung besar dalam memajukan kawasan ini,” demikian Muhamamd MTA.(HR-RI_***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar