JAKARTA_Harian-RI.com
Pimpinan MPR diiingatkan jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan atas permintaan pergantian Wakil Ketua MPR dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pasalnya, ada dua pimpinan DPD yang menarik dukungan terhadap surat keputusan (SK) pemberhentian Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR yaitu Sultan Baktiar Najamudin dan Nono Samponom. Selain itu, juga dua gugatan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan Bareskrim Polri.
Hal itu disampaikan Koordinator Tim Hukum Fadel Muhammad, Dahlan Pido dalam keterangannya, Jumat (16/9).
Dahlan menilai permintaan agar Pimpinan MPR segera memproses pengajuan pergantian Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur Dewan Perwakil Daerah (DPD) tidak tepat. Sebab, Sidang Paripurna DPD yang berujung kepada agenda mosi tidak percaya adalah proses dan tindakan yang salah dan cacat hukum serta inkonstitusional karena melalui penyeludupan agenda.
"Agenda awal adalah laporan kinerja, tapi berubah menjadi mosi tidak percaya. Jadi ini agenda selundupan ilegal," tukas Dahlan.
Dahlan menjelaskan instrumen mosi tidak percaya tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Sedangkan, instrumen mosi tidak percaya adalah satu mekanisme ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan parlementer, di mana kekuasaan eksekutif bersumber dari parlemen.
"Sehingga yang menjadi hukum tertinggi adalah konstitusi (supreme of constitution) dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai regulasi pelaksana, dalam hal ini perkara a quo adalah Undang-Undang MD3, TATIB MPR, dan TATIB DPD," jelas Dahlan
Karena secara prosedur sudah cacat hukum, Dahlan menyebut keputusan yang dihasilkan dalam Sidang Paripurna DPD tidak sah dan tidak bisa dijadikan sebagai produk hukum.
Terlebih, kata Dahlan, keputusan penggantian Wakil Ketua MPR harus disahkan dan ditandatangani oleh empat Pimpinan DPD, tapi faktanya ada dua Pimpinan yang menarik diri dari tanda tangan yaitu, Sultan Baktiar Najamudin dan Nono Sampono.
"Jadi yang dinamakan kolektif kolegial tidak terjadi karena hanya dua dari empat pimpinan yang tanda tangan," kata Dahlan.
Selain itu, kata Dahlan sesuai Pasal 22 Peraturan MPR RI nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Tertib (tatib) MPR RI bahwa masa jabatan keanggotaan MPR sebagaimana Pasal 8 ayat 2 adalah 5 tahun.
"Jadi Fadel Muhammad tidak dapat diganti di tengah masa jabatannya karena tidak memenuhi unsur yang dipersyaratkan undang-undang," tegasnya.
Tidak hanya itu kata Dahlan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (e) Tatib MPR proses pergantian Wakil Ketua MPR harus ada permintaan dari Pimpinan MPR kepada Pimpinan DPD terlebih dahulu untuk mengisi jabatan yang kosong. "Jadi gagasan pengisian itu harus lahir dari MPR bukan dari DPD, hal ini sesuai dengan Tatib MPR," tandasnya.
Dengan beberapa fakta tersebut, Dahlan meminta kepada Pimpinan MPR agar menyerahkan kembali permintaan pimpinan DPD untuk mengganti Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR ke Pimpinan DPD kembali karena cacat hukum.
Apalagi kata Dahlan, saat ini sedang ada gugatan hukum di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan juga Bareskrim Polri kepada Pimpinan DPD. "Kalau mau mengganti harus ada putusan tetap dari pengadilan," pungkasnya. (A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar