Harian-RI.com
Membicarakan rakyat Aceh menjadi miskin menimbulkan berbagai pertanyaan yang mengundang kontroversial dengan kondisi Aceh yang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah Republik Indonesia.
Dari berbagai sudut pandang jika kita analisa maka yang membuat Aceh Termiskin adalah pejabat eksekutif dan legislatif serta sokongan kalangan orang-orang yang mengatasnamakan Pemuka Agama yang ikut campur dalam urusan Umara.
Bagaimana anda berani mengatakan hal tersebut tanpa ragu sedikitpun?
Catatan yang penting di definisikan adalah bahwa politik diwajibkan pada semua elemen masyarakat. Namun berpartai politik tidak wajib pada semua warga negara bahkan pada mereka yang terlibat dalam birokrasi negara dilarang agar tidak menimbulkan perpecahan dalam pelayanan publik.
Begitupun pada elemen ulama diwajibkan berpolitik untuk mengawal kehidupan sosial dengan mental dan moralitas ulama tersebut, namun melibatkan partai politik justru dapat mendistorsi nilai mereka sebagai pelaku kepemimpinan yang mengedepankan moralitasnya dalam mengingatkan dan membangun budaya masyarakat dalam beragama.
Baik, mari kita kaji secara selayang pandang, apakah ketiga unsur ini berjalan sesuai dengan fungsinya bagi kedaulatan rakyat?
Pertama, Eksekutif dalam hal ini kita hanya membatasi pada tingkat Gubernur Aceh yang mewakili lembaga eksekutif. Sebagai penanggung jawab utama dalam pemerintah di provinsi gubernur berkewajiban mengawal uang negara yang diperuntukkan kepada pembangunan rakyat.
Gubernur perlu memastikan pembangunan rakyat dengan mengutamakan instrumen-instrumen pengambilan keputusan rakyat, kenapa?
Karena dia harus menghormati hak-hak rakyat dalam bernegara sebagai elemen utama dalam bernegara, karena tanpa rakyat negara ini tidak diperlukan walau luas tanahnya bisa mencapai ukuran lima negara sekalipun.
Lalu, yang perlu selalu di benak gubernur adalah tujuan antara rakyat yakni kedaulatannya. Dengan meahami kedaulatannya maka rakyat memiliki kekuasaan untuk menentukan kemana arah pembangunan yang melibatkan orang-orang cerdas di seluruh bumi ini.
Nah, dengan paham landasan rakyat dalam bernegara tersebut maka gubernur juga wajib memahami yang mana hal yang menjadi prioritas dalam hukum pembangunan rakyat. Kecerdasan menempatkan skala prioritas itulah kecerdasan seorang kepala daerah.
Berikutnya apa yang perlu menjadi prioritas utama? Memahami kondisi sosial dan melihat modal sosial yang dapat menjadi pengungkit pembangunan rakyat itu sendiri.
Kecerdasan menguasai dan memahami skala prioritas dan melakukannya dengan alat alat politik yang demokratis sebagaimana perencanaan dengan renstra secara serius dan terbuka adalah sebagai wujud kepahaman seorang pemimpin rakyat yang komperensif.
Banyak dari gubernur Aceh sebelumnya yang memandang alat alat pengambil keputusan publik sebagai formalitas belaka maka disitulah kita mendapatkan dia sebagai pemimpin yang sesungguhnya bukan demagog yang hanya melakukan tugasnya untuk tampilan pengkaburan mata rakyat.
Jika kepala daerah tidak memahami perangkat dan mekanisme pengambilan keputusan dalam konstitusi negara secara benar hingga ke ruh nya maka berhentilah berharap pembangunan yang dijalankan untuk kepentingan rakyat Aceh yang sebenar-benarnya. Hal itu juga oleh sebahagian orang mengatakan politicall will, tetapi tanpa paham terhadap ruh pembangunan maka kata itu juga dapat menjadi lips service mainannya demagog dalam kehidupan politik rakyat.
Kedua, Legislatif sebagai wakilnya rakyat perlu memahami posisi mereka dalam politik, mereka bukanlah tuan rakyat yang membayar rakyat untuk memilih mereka sebagai wakil rakyat. Jika mereka masih tetap sebagai tuan rakyat maka dapat dipastikan bahwa para dewan ini hanya membangun konspirasi dengan eksekutif dan mereka akan melakukan apa saja untuk memperoleh uang demi mengembalikan modalnya, bahkan mereka akan berpikir praktis untuk mengambil hak rakyat menjadi haknya dengan pikiran praktis bahwa hak rakyat adalah hak mereka karena mereka mendapatkan jabatan sebagai wakil rakyat melalui biaya sogok rakyat pada pemilu yang lalu.
Karena itu maka dibutuhkan gubernur sebagai seorang pemimpin yang cerdas sehingga mereka bukan seseorang yang ketakutan menghadapi wakil rakyat, tetapi kemampuan mereka adalah sebagai pemberi pencerahan kepada rakyat dalam pembangunan.
Kalau kita menyaksikan selama ini pemerintah Aceh yang diwakili oleh gubernur justru mereka seperti menjaga jarak dengan legislatif, padahal mereka adalah mitra kerja yang perlu ditata dalam fungsi dan tugasnya secara ideal. Walaupun kedudukan mereka sejajar tetapi sisi lemah mereka menjadi lubang yang menganga untuk saling intervensi untuk tujuan konstruktif.
Justru karena itu maka seorang gubernur haruslah sebagai pemimpin yang menguasai ilmu politik dan negara yang paripurna sehingga mereka memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih dalam politik pemerintahan.
Karena itulah seringkali orang politik berkiblat ke akademisi sebagai standar dalam ilmu politik yang tanpa sadar membawa politik dalam dekapan akademisi yang sesungguhnya rakyat sudah seringkali menegaskan dan mengeluhkan banyaknya pengangguran dan kelemahan lainnya dalam masyarakat yang membawa para sarjana larut dalam birokrasi karena mentalitas mereka di dekap penuh oleh birokrasi ala sisa penjajah!
Kalau kita ingin berkata jujur maka kita harus melihat mereka yang tampil dalam membawa inovasi dan discovery sosial dalam perubahan rakyat adalah mereka yang mendapat pendidikan di luar, tetapi hanya sebatas ketrampilan bukan dalam kepemimpinan politik. Namun karena birokrasi dan pemimpin kita lemah dalam memahami pembangunan rakyat maka pemimpin politik yang ilmu dan pemikirannya setengah-setengah menjebak mereka ke dalam birokrasi dan menjadi kepala daerah, kepala rumah sakit, kepala dinas, kepala lembaga pendidikan yang pada dasarnya tergolong dalam katagori fungsi birokrasi.
Perguruan tinggi kita dapat disebut gagal dalam membangun jiwa enterpreneur pada mahasiswanya sehingga sebahagian besar alumninya terjebak dalam politik birokrasi dan tanpa disadari mereka menjadi orang yang lahir dan terjajah dalam mentalitas feodalisme yang membahayakan masa depan mental rakyat secara umum.
Karena itulah maka gubernur, atau kepala daerah harus orang yang memiliki ilmu, wawasan dan pemikiran dalam politik dan perubahan sosial bukan adu banyak pendukung sebagaimana ranah politik kita selama ini. Jadi memanage jiwa sosial membangun perencanaan politik dan melihat siapa yang mampu membawa politik sebagaimana arah politik rakyat barulah mendukung politik atau melakukan eksekusi politik. Bukan ikut kecenderungan sosial yang hanya menguntungkan para demagog dan propagandus yang tidak paham politik yang sesungguhnya.
Ketiga, gubernur Aceh juga sebenarnya secara rata - rata tidak percaya diri dalam politiknya. Karena mereka sebahagian besar bersandar pada tokoh agama dan tokoh adat yang memelihara nilai-nilai tradisional yang terkadang tidak sesuai lagi dengan kondisi jaman, jika dipaksakan maka orang yang berpikir akan menganggapnya sebagai kebodohan masyarakat dan sebagai aktivitas ketertinggalan suatu masyarakat.
Sebagai gubernur yang merupakan pemimpin masyarakat dibutuhkan ilmu yang komplek sehingga ia sebagai pemimpin adalah orang cerdas bukan hanya sebatas memahami salah satu bidang pengetahuan sebagaimana akademisi.
Itulah guna penyampaian visi dan misi sebagai formalitas penyampaian prinsip pokok-pokok kepala daerah sehingga ia juga menyadari bahwa pembangunan rakyat berada diotaknya, bukan ditangannya sebagaimana digembar-gemborkan dalam politik kita selama ini.
Lalu, apakah dengan pemuka agama seorang pemimpin rakyat lebih paham? Tentu saja seorang gubernur harus lebih paham dari pemuka agama (ulama) untuk menempatkannya dalam politik dan bernegara karena yang mengurus negara adalah umara.
Kenapa? Karena negara itu ada AD ART nya sebagaimana organisasi, ada platform perjuangan negara seperti bhineka tunggal ika dan program pembangunan jangka panjang negara sebagai implementasinya.
Begitu juga daerah Aceh yang memiliki AD/ART nya sebagaimana negara, itulah yang menjadi harkat, martabat dan marwah orang Aceh dalam otonominya. Jadi bukan dengan tujuan politik kelompok kita membawa-bawa marwah Aceh, yang akhirnya kita melacurkan sendiri marwah Aceh itu sesuka hati kita sebagaimana orang membawa tuhan sesuka hatinya dalam politik pragtis. Hal ini tidak berbeda dengan melacurkan tuhan karena itulah mereka disebut penjual agama dalam politik.
Karena tidak ada produk politik yang jadi pemancing emosi rakyat maka mereka menjual produk politik yang sangat pragmatis. Pilihannya hanya produk mengeksploitasi agama yang mereka bisa, karena mereka tidak memahami ilmu politik yang sesungguhnya sehingga produknya pun terbatas dan itu itu saja. Seperti di Aceh ketika hiburan lain tidak tersedia maka masyarakat dan generasi muda di warkop, lalu melalaikan diri dengan game chip.
Lalu kalau anda tanya pada orang yang paham maka mereka menganggap pemuka agama kita adalah yang menggunakan ilmu politik yang ditulis oleh Machiavelly pilsuf dari Italy dengan politik kekuasaan yang menggunakan segala cara.
Bila seorang pemimpin tidak memahami ilmu politik, pertanyaannya, bagaimana mereka mengelola managemen sosial kemudian pasti terjadi centang perenang dalam pembangunan rakyat.
Berikut kalau para pemuka agama memilih skala prioritas dalam pembangunan dengan uang negara pada pemusatan pengembangan dayahnya, sementara rakyat Aceh melarat menjadi termiskin lalu apakah pendapat dan presurenya terhadap pemerintah itu tidak berdosa?
Bagi negara melanggar etika, bagi hukum agama ia juga sebagai pendosa.
Seorang pemimpin wajib membuka pembangunan pada rakyatnya, (itulah yang disebut azas transparant) karena uang yang digunakan tersebut adalah uang milik rakyat Aceh yang diperuntukkan untuk pembangunan mereka.
Lalu, bagamana seorang pemimpin Aceh membawa keluar rakyat Aceh dalam lingkaran setan keterpurukannya?
Jawabnya adalah dengan pembangunan yang terintegrasi, makanya ada perancangan pembangunan secara terintegral sehingga sipapun yang mengganggu tidak berbeda dengan merusak pembangunan rakyat.
Apakah pembangunan Aceh terintegrasi secara baik? Tentu tidak mungkin karena aspirasi dewan saja sudah mengindikasikan pembangunan rakyat Aceh yang serba sporadis ala manusia tidak berbudaya dan tidak memiliki sikap untuk sebuah peradabannya.
Hal ini bisa dilihat dari fungsi lembaga negara di Aceh yang centang perenang. Bagaimana mungkin Aceh tidak miskin? Justru yang kita heran kenapa ada orang-orang yang berharap dan menyampaikan bahwa Aceh hebat, bahwa Aceh maju?
Siapakah mereka? Itulah kelompok konservatif yang menikmati kenyamanan dalam hidupnya dan diatas penderitaan rakyat Aceh yang lainnya.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar