Harian-RI.com
PADA tahun 1860, pemerintah Belanda digemparkan oleh sebuah novel berjudul Max Havelaar, yang ditulis Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker (1820-1887), seorang pegawai di kantor pemerintahan Belanda di Indonesia (dulu Hindia-Belanda).
Menurut laman Museum Multatuli, pejabat Belanda sampai menawarinya jabatan agar ia menarik publikasi Max Havelaar. Namun buku itu tetap eksis dan diterbitkan ulang pada 1875 dengan perbaikan.
Max Havelaar merupakan novel satir yang berisi kritik atas perlakuan buruk penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda, terkait kebijakan cultuurstelsel atau tanam paksa.
Cultuurstelsel terjadi pertengahan abad 19, sebagai imbas peralihan kontrol kolonial Hindia Belanda dari VOC ke pemerintah Belanda akibat kegagalan ekonomi perusahaan Hindia Timur Belanda tersebut.
Sejak terbitnya novel Max Havelaar, masyarakat Eropa mulai menyadari bahwa kekayaan yang mereka dapat merupakan hasil penderitaan di bagian lain dunia.
Di sisi lain masyarakat semakin terbuka pikirannya dan berani menentang kebijakan cultuurstelsel, sampai akhirnya sistem tersebut dihapuskan.
Hilangnya cultuurstelsel kemudian disusul dengan terbentuknya politik etis, di mana pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membalas Budi dengan memberikan pendidikan kepada beberapa kelas pribumi.
Politik etis ini akhirnya melahirkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan dan organisasi-organisasi modern di Indonesia, yang memiliki kesadaran agar rakyat bumiputra mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.
Ini adalah bukti bahwa pendidikan adalah kunci. Tak hanya mengubah nasib seseorang, juga suatu bangsa.
Bagaimana menurut Anda? (Nursalim Turatea).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar